“Saya harus memberikan makan untuk istri dan 2 anak saya, kalau saya dirumah, kamu mau biayai makanan kami?” kata seorang pedagang jalanan.

Kutipan ini menggambarkan betapa beratnya Pemerintah harus menimbang dampak sosiopsikoekonomi kebijakan lockdown baik di Jakarta maupun seluruh Indonesia. Tentu kita tidak ingin lockdown yang tidak terencana dengan baik dan malah menimbulkan kematian seperti yang terjadi di India beberapa waktu lalu.

Penggunaan solusi-solusi inovatif seperti isolasi terarah, penggunaan teknologi untuk penelusuran kontak dan skrining serta penguatan komunitas merupakan beberapa solusi yang harus segera dikembangkan bila kita ingin menghindari lockdown seperti yang terjadi di Itali maupun Inggris saat ini. Tulisan akan berfokus pada bagaimana melindungi masyarakat sosioekonomi rendah dari dampak negatif sosioekonomi karena perlambatan akibat COVID dan negatif pada kesehatan karena tetap harus keluar rumah.
Di satu sisi, menjaga jarak dan kerja di rumah harus digalakkan terutama untuk masyarakat kantoran, tetapi ini saja tidak cukup, kalangan menengah-bawah seperti pedagang informal harus dipertimbangkan. Bagi mereka keluar rumah bekerja adalah suatu keniscayaan. Bagi kelompok ini anjuran mencatat di kertas atau mengingat dan menceritakannya ke orang di rumah kemana saja mereka bepergian setiap harinya penting untuk membantu penelusuran bila mereka ditemukan positif COVID.
Pembuatan kebijakan perlindungan sosial seperti bantuan langsung tunai yang dicanangkan dan juga dijalankan negara maju lainnya seperti Amerika Serikat, Singapura dan Australia, bagi kelompok ini harus dipertimbangkan. Tetapi jangan sampai menimbulkan kerumunan seperti operasi pasar yang dilakukan beberapa waktu lalu. Bantuan ini dapat diberikan dalam bentuk subsidi kebutuhan sehari-hari mereka seperti listrik yang akan dijalankan, serta dapat dengan pemberian kebutuhan sehari-hari melalui antaran dengan berkoordinasi dengan PT POS, kecamatan dll.
Isolasi pada kelompok ini juga harus sepenuhnya ditanggung negara agar meningkatkan kepatuhan melapor. Jangan sampai seperti kasus pengendara ojek online kabur dari rumah sakit karena memikirkan menjadi tulang punggung keluarga terulang. Hal ini dapat melalui antaran ke rumah bila memang masih bisa isolasi mandiri atau diinapkan di tempat inap sementara yang terpantau. Pemantauan dapat berkoordinasi dengan Ketua RT/RW, Kepala Desa, kader, Ibu PKK, Babinsa dan Karang Taruna sehingga tidak hanya bertumpu pada petugas medis yang fokus pada penanganan pasien berat. Sistem koordinasi yang pernah dibentuk saat menghadapi wabah flu burung harus digerakkan kembali. Di negara dengan fokus keluarga dan komunitas seperti Indonesia, fungsi pencegahan dengan bertumpu pada gerakkan sosial memiliki potensi daya ungkit yang tinggi.

Dalam membantu mencegah penyebaran, pembagian masker non-medis pada kelompok ini harus dilakukan. Apakah itu masker non-medis? Masker ini adalah masker yang umumnya ulang pakai terbuat dari bahan seperti kain yang kedap air dengan tujuan mengurangi terhirupnya droplet / cairan liur dari bersin atau batuk penderita COVID ke masyarakat lainnya. Salah satu cara mengurangi penyebaran COVID oleh karenanya adalah mewajibkan semua orang yang keluar rumah untuk menggunakan masker, tetapi untuk merespon kelangkaan masker medis perlu dilakukan pengerakkan pabrik tekstil dan sebagainya untuk memproduksi masker non-medis ini secara murah dan dibagikan secara gratis kepada kelompok yang kurang mampu seperti petugas pengangkut sampah, tata air, pedagang pasar, pedagang di jalan dll.

Masker Non Medis.jpg
Ilustrasi Masker Non-Medis
Seperti pidato Presiden beberapa waktu lalu, saat ini lockdown belum sesuai dengan konteks di Indonesia. Melihat pertimbangan sosiopsikoekonomi yang akan timbul dari lockdown, opsi lain seperti karantina parsial dan inovasi lainnya perlu dipertimbangkan. Salah satu opsi semisal membatasi pergerakan keluar masuk daerah dengan densitas kasus terbanyak semisal di Jakarta, dengan tetap membiarkan aktifitas ekonomi berjalan bagi yang memang harus keluar tetapi dengan penggunaan jaga jarak yang ketat. Di sisi lain, sekolah, perkantoran dan aktifitas lain dipindah seluruhnya menjadi ke rumah. Tidak lupa tracing, testing dan isolasi perlu ditingkatkan di dalam zona merah ini sembari kebijakan ini berlangsung.
Lockdown atau tidak, COVID sudah pasti akan memberikan dampak negatif bagi perekonomian Indonesia dan dunia. Sehingga kebijakan-kebijakan sosioekonomi perlu dilakukan disamping upaya menurunkan risiko mereka yang tetap harus keluar terkena COVID seperti pemberian masker di atas.
Tulisan ini dibuat oleh dr. Anthony P. Sunjaya, SM, PhD(c), Scientia Doctoral Researcher UNSW Sydney dan semula dimuat di media Kumparan.com